Apa jadinya jika kota sebesar Seoul yang megah dan modern harus tunduk oleh makhluk seukuran biji wijen? Jawabannya sedang terjadi. Jutaan lovebug atau kumbang cinta kini meneror Korea Selatan, mengubah musim panas yang seharusnya ceria menjadi penuh kegelisahan. Serangga ini tidak membawa virus, tidak menggigit, bahkan punya fungsi ekologis. Tapi dalam jumlah masif, mereka adalah simbol gangguan. Dan lebih dari itu, mereka adalah cermin.
Di tengah suhu yang semakin naik dari tahun ke tahun, serangga bernama ilmiah Plecia longiforceps ini berkembang biak dengan kecepatan yang luar biasa. Mereka datang bergerombol, menguasai jendela-jendela rumah, menempel di kaca mobil, bahkan mengotori ruang publik seperti restoran dan stasiun. Warga Seoul yang terbiasa menghadapi lalu lintas dan jadwal padat kini dibuat kewalahan oleh serangga yang bahkan tidak bisa dimaki karena terlalu kecil untuk paham.
Video viral dari Gunung Gyeyangsan memperlihatkan bagaimana warga harus berjuang mendaki sambil mengayun raket nyamuk. Di titik istirahat, bangkai lovebug menggunung seperti lapisan tanah. Satu-dua serangga mungkin lucu. Tapi sejuta? Itu teror ekologis.
Menurut Kementerian Lingkungan Korea Selatan, lovebug sudah ada sejak 2015. Namun ledakan jumlahnya mulai terlihat sejak 2022. Mereka bukan pendatang biasa. Mereka adalah penanda bahwa suhu di Seoul sudah berubah. Kota ini kini menjadi zona nyaman bagi spesies yang dulu hanya muncul di wilayah subtropis. Semua ini karena pemanasan global yang tak kunjung mendapat penanganan serius.
Seoul mengalami efek urban heat-island yang ekstrem. Permukaan aspal, beton, dan bangunan tinggi menyimpan panas jauh lebih banyak dari daerah pedesaan. Kota menjadi oven alami, dan oven ini, tanpa sadar, membesarkan generasi baru serangga.
Pemerintah tidak menganggap lovebug sebagai ancaman. Bahkan mereka menolak penggunaan pestisida. Serangga ini membantu penyerbukan dan tidak mengganggu secara biologis. Tapi di mata masyarakat, serangga ini tetap menyusahkan. Puluhan ribu laporan masuk, mencerminkan satu hal: warga tidak siap. Bukan hanya secara fisik, tapi juga secara mental dan sosial.
Kim Tae-o dari Kementerian Lingkungan mengatakan bahwa ini adalah hasil dari ketidakstabilan ekologi yang makin parah. Ia menyerukan kewaspadaan. Tapi pertanyaan sesungguhnya bukan hanya bagaimana kita menghadapi lovebug, melainkan bagaimana kita menghadapi gelombang pergeseran ekosistem lainnya yang mungkin jauh lebih besar.
Apa yang terjadi di Seoul hanyalah teaser. Jika lovebug bisa membuat ribuan warga frustrasi, bagaimana dengan migrasi hewan besar, gagal panen, atau wabah hama yang benar-benar mematikan?
Kita sudah terlalu lama menganggap perubahan iklim sebagai topik konferensi, bukan kenyataan harian. Sekarang, kenyataan itu datang lewat pintu jendela, menempel di layar laptop, bahkan ikut terbang di makanan kita. Dan ironisnya, ia datang dalam bentuk serangga kecil yang sedang jatuh cinta.



















