Latar Belakang Kasus
Kasus penganiayaan yang melibatkan seorang perwira polisi di Kabupaten Madina, Sumatera Utara, kini menjadi sorotan publik. Seorang perwira berinisial Aiptu SN, yang menjabat sebagai Kanit Intelkam Polsek Lingga Bayu, bersama dengan dua putranya, telah ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan penganiayaan terhadap Sumardi, seorang pengepul sawit. Kejadian ini tidak hanya mengguncang keluarga korban, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas dan akuntabilitas aparat kepolisian.
Kapolres Mandailing Natal, AKBP Arie Sofandi Paloh, mengungkapkan bahwa langkah penetapan tersangka ini menunjukkan keseriusan Polri dalam menegakkan hukum. “Kami tidak akan tebang pilih. Siapa pun yang melanggar hukum, termasuk anggota kami sendiri, akan diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” katanya.
Kronologi Kejadian
Insiden ini terjadi pada tanggal 23 Januari 2025, ketika Sumardi melakukan transaksi sawit dengan Aiptu SN. Kecurigaan Aiptu SN terhadap asal-usul sawit yang dijual membuatnya menuduh Sumardi menjual sawit curian. “Saya sudah menjelaskan bahwa semua transaksi saya sah dan tidak melanggar hukum,” ungkap Sumardi dengan nada frustrasi.
Namun, Aiptu SN tidak percaya dengan penjelasan Sumardi dan dalam keadaan marah, ia menampar Sumardi. Keesokan harinya, situasi semakin buruk ketika dua putra Aiptu SN, ASN dan RS, ikut terlibat dalam penganiayaan. Mereka menggunakan alat berupa selang untuk menganiaya Sumardi yang mengakibatkan luka berat. “Saya tidak pernah membayangkan bahwa saya akan diperlakukan seperti ini oleh seorang polisi,” tutur Sumardi dengan penuh kesedihan.
Proses Penegakan Hukum
Setelah menerima laporan dari istri Sumardi, Polres Madina segera melakukan penyelidikan. Kapolres Arie menegaskan bahwa pihaknya akan mengumpulkan bukti dan keterangan dari berbagai saksi untuk memastikan keadilan ditegakkan. “Kami akan memastikan bahwa proses hukum ini berjalan dengan baik dan transparan,” ujarnya.
Pengacara Sumardi menambahkan, “Kami akan mengawasi setiap langkah dalam proses hukum ini. Kami berharap tidak ada upaya untuk menutupi kasus ini.” Pengacara tersebut juga mengingatkan bahwa penting bagi masyarakat untuk terlibat dalam pengawasan kasus ini agar keadilan dapat tercapai.
Reaksi Masyarakat
Kejadian ini memicu reaksi keras dari masyarakat. Banyak yang merasa khawatir akan adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat kepolisian. “Seharusnya polisi menjadi pelindung masyarakat, bukan pelaku kekerasan,” ujar seorang warga setempat. Kekecewaan ini terlihat jelas di media sosial, di mana netizen menyerukan agar tindakan tegas diambil terhadap oknum yang melakukan pelanggaran.
Di platform media sosial, banyak yang mengekspresikan dukungan kepada Sumardi dan keluarganya. “Kami tidak bisa membiarkan tindakan semacam ini terjadi. Semua orang berhak mendapatkan perlindungan dan keadilan,” tulis salah satu pengguna Twitter. Masyarakat berharap agar kejadian ini menjadi momentum untuk memperbaiki sistem penegakan hukum di Indonesia.
Proses Hukum yang Berlanjut
Dengan status tersangka yang telah ditetapkan, Aiptu SN dan kedua putranya kini harus menghadapi proses hukum yang lebih lanjut. Mereka dijerat dengan Pasal 170 dan Pasal 351 KUHP, yang mengatur tentang pengeroyokan dan penganiayaan berat. Jika terbukti bersalah, mereka bisa menghadapi hukuman penjara hingga sembilan tahun.
Kapolres Arie menegaskan bahwa selain proses hukum pidana, Aiptu SN juga akan dihadapkan pada sidang etik profesi. “Kami akan memastikan bahwa proses internal juga berlangsung agar citra Polri tetap terjaga,” ujarnya.
Harapan dan Dukungan Keluarga Korban
Keluarga Sumardi sangat berharap agar proses hukum dapat berjalan dengan adil dan transparan. Istri Sumardi mengungkapkan harapannya, “Kami hanya ingin keadilan. Apa yang terjadi pada suami saya tidak seharusnya terjadi, dan pelaku harus bertanggung jawab.” Dukungan dari masyarakat sangat berarti bagi mereka dalam menghadapi situasi sulit ini.
Masyarakat juga berharap agar insiden ini menjadi momentum untuk memperbaiki sistem penegakan hukum. “Kami ingin semua tindakan kekerasan, terutama yang melibatkan aparat, ditindak tegas. Ini adalah hak setiap warga negara untuk mendapatkan perlindungan,” kata seorang aktivis hak asasi manusia.
Penutup
Kasus penganiayaan yang melibatkan Aiptu SN di Madina ini mengingatkan kita pada pentingnya akuntabilitas dalam lembaga kepolisian. Proses hukum yang sedang berlangsung diharapkan dapat memberikan keadilan bagi semua yang terlibat, terutama bagi korban.
Keberanian Sumardi untuk melaporkan tindakan kekerasan ini patut diapresiasi dan diharapkan dapat mendorong lebih banyak orang untuk berbicara melawan ketidakadilan. Masyarakat kini menunggu langkah selanjutnya dari kepolisian dan berharap agar insiden serupa tidak terulang di masa depan. “Kami ingin polisi kembali menjadi pelindung masyarakat, bukan sebagai ancaman,” tutup seorang warga yang merasa khawatir dengan situasi ini.