Pengakuan Mengejutkan di Pengadilan
Medan, 18 Desember 2025 – Sidang di Pengadilan Tipikor Medan hari ini dihebohkan oleh pengakuan dari Kepala Satuan Kerja (Kasatker) Pelaksana Jalan Nasional (PJN) Wilayah I Sumatera Utara, Dicky Erlangga. Dalam kesaksiannya, Dicky mengungkapkan bahwa ia menerima suap sebesar Rp 1.675.000.000 dari Muhammad Akhirun alias Kirun, terkait proyek jalan yang sedang berlangsung di wilayah tersebut. “Kalau dilawan, saya tidak berani. Jadi, saya terima uang itu untuk memenuhi kebutuhan,” ucap Dicky.
Pernyataan ini menciptakan gelombang reaksi di kalangan masyarakat dan banyak pihak yang memperhatikan standar etik pejabat publik. Praktik suap ini bukan hanya merupakan pelanggaran hukum, tetapi juga menunjukkan lemahnya pengawasan dalam pengelolaan proyek-proyek infrastruktur, yang seharusnya dijalankan dengan transparansi.
Dicky menyatakan bahwa uang tersebut tak hanya digunakan untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk keperluan biaya acara seperti Halal bihalal dan Natal, serta untuk “membagi-bagikan” kepada oknum LSM dan wartawan. “Saya tidak menyadari betapa salahnya tindakan ini saat itu,” ucapnya menyesal.
Dampak Korupsi terhadap Kepercayaan Publik
Pengakuan Dicky Erlangga mengungkapkan masalah sistemik dalam pengelolaan proyek publik di Indonesia. Praktik suap bukan hanya merugikan negara, tetapi juga menciptakan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat terhadap lembaga pemerintah. “Bagaimana bisa kita percaya jika uang rakyat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi?” tanya seorang warga yang mengikuti sidang.
Banyak pihak menilai tindakan Dicky sebagai cerminan dari lemahnya integritas di kalangan pejabat publik. “Kita perlu menuntut bahwa setiap pejabat harus mengedepankan etika dalam menjalankan tugasnya,” ungkap seorang aktivis yang mendukung gerakan anti-korupsi.
Kesadaran akan pentingnya transparansi dari para pejabat publik juga semakin meningkat sebagai dampak dari kasus ini. “Masyarakat tidak boleh tinggal diam. Kita harus melaporkan setiap ketidakberesan yang terjadi,” tambahnya.
Rincian Uang Suap dan Penggunaannya
Dalam sidang, Dicky menjelaskan lebih lanjut tentang bagaimana uang suap itu diterima dan digunakan. Ia mengakui bahwa keputusan untuk menerima uang tersebut diambil dalam situasi yang sangat menegangkan. “Saat itu, saya merasa terpaksa. Saya tidak tahu harus berbuat apa,” ungkapnya.
Dicky juga mengkonfirmasi bahwa uang yang diterima dibagi untuk berbagai kepentingan, termasuk untuk acara sosial yang seharusnya didanai oleh anggaran resmi. “Saya akui ini salah. Setelah kejadian ini, saya tidak mau lagi terlibat dalam perkara serupa,” tegas Dicky dalam upayanya untuk menunjukkan penyesalan yang mendalam.
Hal ini menunjukkan ketidakpahaman tentang tanggung jawab yang harus diemban oleh seorang pejabat publik. Penggunaan uang suap untuk kepentingan yang tidak jelas hanya memperparah situasi dan menciptakan stigma negatif terhadap institusi pemerintah.
Pengembalian Uang kepada KPK
Dalam upaya untuk bertindak lebih baik, Dicky juga menyatakan bahwa ia telah mengembalikan semua uang yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Uang tersebut sudah saya kembalikan. Saya ingin memperbaiki kesalahan saya,” tegasnya.
Namun, pengembalian uang ini menuai berbagai reaksi. Banyak yang berpendapat bahwa pengembalian tidak cukup untuk menggantikan tindakan yang telah dilakukan. “Return money is not enough. We need to see serious legal actions,” jelas seorang lawan bicara dari masyarakat.
KPK, di sisi lain, menyambut baik langkah pengembalian dana ini, tetapi memperingatkan bahwa tindakan hukum harus tetap dijalankan. “Kami akan menyelidiki semua laporan dengan serius. Korupsi harus ditindaklanjuti secara hukum,” ujar juru bicara KPK.
Keterkaitan dengan Kasus Lain
Kasus Dicky Erlangga juga berkaitan dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) lainnya, Heliyanto, yang sudah lebih dulu menjalani sidang dengan tuduhan serupa. Dalam berita sebelumnya, Heliyanto didakwa menerima suap sebesar Rp 1,484 miliar dari Direktur Utama PT Dalihan Natolu Grup, yang sama-sama terlibat dalam proyek jalan.
“Kasus ini menunjukkan bahwa jaringan korupsi bisa melibatkan banyak orang dalam satu proyek,” kata Eko Dwi Prayitno, jaksa penuntut umum yang terlibat dalam kasus ini. Penanganan kedua kasus ini diharapkan dapat menjadi titik balik dalam pemberantasan korupsi yang meluas di sektor publik.
Masyarakat berharap agar kepolisian dan KPK dapat bekerja sama untuk menuntut semua pelaku korupsi, baik individu maupun sistemik. “Kami ingin melihat bahwa setiap orang yang terlibat akan mendapatkan konsekuensi yang setimpal,” ujar seorang pengawal publik.
Harapan untuk Reformasi
Pengakuan Dicky membuka peluang bagi reformasi dalam mekanisme pengawasan di sektor infrastruktur. “Kita perlu melihat sistem yang lebih transparan di mana setiap pengeluaran dapat diawasi dengan baik,” ungkap seorang ahli ekonomi yang fokus pada pengelolaan publik.
Diperlukan kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan media untuk menciptakan iklim yang menekan praktik korupsi. “Keterlibatan masyarakat penting untuk mendorong pejabat publik mematuhi etika dan tanggung jawab,” tambahnya.
Reformasi juga harus mencakup pendidikan mengenai etika dan tanggung jawab bagi calon pejabat publik. “Kita tidak ingin orang-orang yang tidak mengerti tentang integritas menduduki posisi penting dalam pemerintahan,” tegas pengamat.
Menyusun Masa Depan Tanpa Korupsi
Kasus ini adalah pengingat bagi masyarakat dan para pejabat bahwa korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merusak kepercayaan publik. “Kami percaya bahwa dengan langkah yang tegas, kita bisa mengubah banyak hal menjadi lebih baik,” ucap seorang tokoh sosial.
Melalui pengawasan dan kolaborasi, masyarakat diharapkan dapat menekan daya korupsi di antara pejabat publik. “Masyarakat harus berani bersuara untuk melawan korupsi. Keberanian ini harus dibangun sejak dini,” tambahnya.
Sebelum semuanya terlambat, reformasi harus dimulai dari sekarang. “Kami ingin melihat perubahan yang nyata agar generasi mendatang tidak terjerumus dalam praktik buruk,” ungkap seorang aktivis.
Penutup: Menuntut Keadilan bagi Rakyat
Kasus ini jelas menunjukkan tantangan besar dalam sistem pemerintahan kita. Penegakan hukum yang konsisten dan transparan perlu ditekankan agar korupsi bisa ditekan secara efektif. Keberanian untuk mengakui kesalahan dan memperbaiki diri adalah langkah kritis.
“Ini adalah kesempatan bagi sistem hukum kita untuk memperbaiki diri dan memastikan bahwa keadilan dapat ditegakkan,” seru seorang pengamat hukum. Jika semua pihak bersatu dalam menuntut keadilan, masa depan yang lebih baik untuk publik bukanlah halangan yang mustahil.
Dengan upaya bersama, harapan akan masa depan yang bebas dari korupsi bisa direalisasikan. Dialog antara pemerintah dan masyarakat harus terus berjalan untuk memastikan bahwa semua pejabat menjalankan tugas mereka dengan tanggung jawab.



















