Pasar smartphone Android diperkirakan akan menghadapi fase yang lebih berat pada 2026. Harga ponsel disebut berpotensi meningkat seiring membengkaknya biaya produksi yang dipicu oleh krisis pasokan komponen utama. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi produsen, tetapi juga berimbas langsung pada konsumen yang selama ini menikmati peningkatan spesifikasi dengan harga relatif stabil.
Sejumlah analis industri menilai, tekanan biaya pada 2026 bersifat struktural dan tidak mudah dipulihkan dalam waktu singkat. Perubahan besar dalam rantai pasok global membuat industri smartphone harus bersaing langsung dengan sektor lain yang memiliki daya serap dan daya beli jauh lebih besar.
RAM Jadi Titik Tekanan Utama
Komponen RAM menjadi salah satu penyebab utama naiknya biaya produksi ponsel Android. Dalam beberapa tahun terakhir, kapasitas RAM pada smartphone terus meningkat. Ponsel kelas menengah kini umum dibekali RAM 8 GB hingga 12 GB, sementara perangkat flagship bahkan sudah melampaui angka tersebut.
Namun, peningkatan kapasitas ini terjadi di tengah kondisi pasokan memori global yang sedang tertekan. Industri RAM dunia menghadapi lonjakan permintaan dari sektor kecerdasan buatan dan pusat data. Kebutuhan ini bersifat masif dan berkelanjutan, sehingga menyerap sebagian besar kapasitas produksi memori.
Perusahaan teknologi besar seperti Google, Meta, Amazon, Nvidia, dan OpenAI membutuhkan RAM dan chip penyimpanan dalam jumlah sangat besar untuk menjalankan model AI, layanan cloud, serta infrastruktur komputasi berskala global.
Produsen Memori Fokus ke Enterprise
Situasi tersebut mendorong produsen memori dunia seperti Samsung, SK Hynix, dan Micron untuk mengubah prioritas distribusi. Pasokan ke sektor enterprise dinilai lebih menarik karena volume pembelian besar, kontrak jangka panjang, serta margin keuntungan yang lebih stabil.
Akibatnya, pasokan RAM untuk industri smartphone, PC, dan perangkat elektronik konsumen lainnya menjadi lebih terbatas. Produsen ponsel kini harus bersaing dengan industri AI untuk mendapatkan komponen yang sama, sebuah kondisi yang sebelumnya tidak terlalu terasa.
Keterbatasan pasokan ini kemudian memicu kenaikan harga RAM secara signifikan.
Lonjakan Harga RAM Tekan Struktur Biaya
Dalam beberapa bulan terakhir, harga DRAM dilaporkan mengalami kenaikan tajam. Media industri dari Korea Selatan mencatat lonjakan harga di kisaran 70 hingga 80 persen. Pada beberapa kontrak tertentu, kenaikan bahkan dilaporkan menembus lebih dari 170 persen.
Secara persentase, RAM memang hanya menyumbang sekitar 10 sampai 15 persen dari total biaya produksi sebuah smartphone. Namun, lonjakan harga yang terlalu tinggi tetap memberi tekanan besar, terutama bagi produsen ponsel kelas menengah yang margin keuntungannya relatif tipis.
Kondisi ini membuat produsen sulit mempertahankan strategi lama, seperti menambah kapasitas RAM tanpa menaikkan harga jual perangkat.
Chipset Flagship Ikut Menyumbang Kenaikan
Selain memori, chipset juga menjadi sumber tekanan biaya yang signifikan. Qualcomm dilaporkan akan menaikkan harga Snapdragon 8 Elite Gen 5 yang diproyeksikan menjadi chipset flagship Android pada 2026.
Kenaikan harga chipset ini diperkirakan mencapai sekitar 20 persen dibandingkan generasi sebelumnya. Harga per unitnya disebut mendekati 190 dollar AS atau sekitar Rp 3,1 juta. Angka tersebut tergolong tinggi dan sulit diserap sepenuhnya oleh produsen.
Chipset merupakan salah satu komponen termahal dalam sebuah smartphone. Kenaikan harga prosesor membuat produsen harus melakukan penyesuaian, baik melalui kenaikan harga jual, pemangkasan fitur, maupun pengurangan insentif.
Dampak Krisis Komponen Meluas
Tekanan pada rantai pasok tidak hanya dirasakan oleh industri smartphone. Pasar PC juga dilaporkan mulai mempertimbangkan penyesuaian harga di kisaran 15 hingga 20 persen akibat mahalnya RAM. Produk komputasi kecil seperti Raspberry Pi ikut terdampak karena keterbatasan pasokan memori.
Perangkat lain seperti konsol game dan televisi juga diperkirakan akan mengikuti tren serupa. Hal ini menunjukkan bahwa krisis komponen bersifat menyeluruh dan tidak terbatas pada satu kategori produk elektronik.
Produsen Mulai Menyesuaikan Strategi Produk
Sepanjang 2025, banyak produsen ponsel masih berusaha menahan harga dengan memangkas margin keuntungan dan melakukan efisiensi internal. Namun, langkah tersebut dinilai tidak lagi cukup untuk menghadapi tekanan biaya yang terus meningkat.
Memasuki 2026, produsen diperkirakan akan mulai melakukan penyesuaian yang lebih terasa bagi konsumen. Salah satunya adalah pemangkasan spesifikasi di beberapa sektor, terutama pada ponsel kelas menengah.
Beberapa aspek yang berpotensi dikurangi meliputi kualitas panel layar, kapasitas baterai, kecepatan pengisian daya, atau fitur tambahan yang dianggap tidak krusial.
Tantangan On-Device AI
Di sisi lain, tren teknologi justru bergerak ke arah yang berlawanan. Fitur AI yang berjalan langsung di perangkat membutuhkan RAM dan penyimpanan yang lebih besar agar dapat berfungsi optimal. Model AI seperti Google Gemini Nano dirancang untuk berjalan tanpa koneksi internet dan sepenuhnya mengandalkan kemampuan perangkat.
Jika spesifikasi diturunkan, performa fitur AI berpotensi tidak maksimal. Hal ini bisa berdampak pada pengalaman pengguna dan nilai jual perangkat di pasar.
Dukungan Software Panjang Tambah Beban
Kebijakan dukungan perangkat lunak jangka panjang juga ikut menambah tekanan biaya. Beberapa merek Android kini menawarkan pembaruan sistem hingga tujuh tahun. Untuk mendukung masa pakai yang panjang, produsen harus menggunakan komponen yang lebih tahan lama dan berkualitas tinggi.
Komponen dengan standar tersebut tentu memiliki harga lebih mahal sejak awal produksi.
Konsumen Hadapi Pilihan Lebih Sulit
Analis memperkirakan harga rilis ponsel flagship pada 2026 kemungkinan masih akan dijaga agar tidak melonjak drastis. Namun, konsumen berpotensi kehilangan berbagai insentif seperti diskon besar dan program tukar tambah yang selama ini umum ditawarkan.
Segmen ponsel kelas menengah diprediksi menjadi yang paling cepat terdampak. Dengan margin tipis dan biaya yang terus naik, peningkatan spesifikasi diperkirakan akan melambat.
Bagi konsumen, kondisi ini berarti ponsel Android pada 2026 berpotensi lebih mahal dengan nilai tambah yang semakin terbatas. Jika tekanan pada pasokan RAM dan chipset tidak mereda, tren kenaikan harga ini diperkirakan akan menjadi tantangan jangka panjang bagi industri smartphone global.
