banner 728x250

Perang Chip Global Makin Panas: China Gempur Balik Amerika, Qualcomm dan Nvidia Jadi Target

Illustrasi Perang Chip CN Vs US
banner 120x600
banner 468x60

Perang chip antara China dan Amerika Serikat kini mencapai titik paling panas sepanjang sejarah industri semikonduktor. Setelah bertahun-tahun Amerika menekan China dengan berbagai pembatasan ekspor teknologi canggih, kini Beijing membalas dengan strategi yang terukur dan mengguncang pasar global. Dua perusahaan raksasa chip asal AS, Qualcomm dan Nvidia, resmi diselidiki oleh otoritas China. Ini bukan hanya soal bisnis, tapi tentang perebutan kendali atas masa depan teknologi dunia.


Awal Konflik: Dari Perang Dagang Jadi Perang Teknologi

Ketegangan antara Washington dan Beijing bermula dari perang dagang yang dimulai pada era pemerintahan Donald Trump. Namun seiring waktu, fokus utama bergeser ke sektor semikonduktor dan kecerdasan buatan (AI). Amerika berusaha menghalangi China menguasai teknologi chip canggih dengan cara membatasi ekspor prosesor kelas atas, seperti chip Nvidia A100 dan H100, serta melarang pengiriman alat pembuat chip ke pabrikan China.

banner 325x300

Namun, strategi itu justru membuat China memperkuat posisi dalam negeri. Pemerintah Beijing meluncurkan berbagai program riset dan pendanaan besar-besaran untuk menciptakan chip buatan lokal, sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap perusahaan Amerika. Kini, China melangkah lebih jauh — bukan sekadar bertahan, tapi melawan balik.


Qualcomm di Mata Badai Investigasi

Pemerintah China melalui State Administration for Market Regulation (SAMR) menuduh Qualcomm melanggar aturan pelaporan terkait akuisisi Autotalks, perusahaan chip otomotif asal Israel. Investigasi ini menilai apakah akuisisi tersebut berpotensi mengganggu persaingan pasar chip kendaraan di China.

Langkah ini menambah panjang daftar konflik Qualcomm dengan Beijing. Pada tahun 2015, Qualcomm pernah didenda sekitar 975 juta dolar AS (Rp 15,5 triliun) karena melanggar hukum antimonopoli. Kemudian pada tahun 2018, akuisisi Qualcomm terhadap NXP Semiconductors gagal karena izin dari China tak kunjung keluar di tengah tensi perang dagang yang meningkat.

Walaupun sering ditekan, Qualcomm tetap tidak bisa meninggalkan pasar China. Sekitar setengah pendapatan global perusahaan ini bergantung pada pasar di Negeri Tirai Bambu. Bahkan, CEO Cristiano Amon dikenal menjaga hubungan diplomatik yang erat dengan pemerintah China dan beberapa kali diundang oleh Presiden Xi Jinping dalam forum bisnis internasional.

Bagi Qualcomm, hubungan ini bagaikan pedang bermata dua — di satu sisi menjadi pasar utama, namun di sisi lain menjadi medan politik yang penuh risiko.


Nvidia Diperiksa Karena Dugaan Monopoli

Jika Qualcomm sibuk menghadapi isu otomotif, maka Nvidia berada di garis depan dalam pertempuran AI. Pemerintah China menuduh Nvidia melakukan pelanggaran hukum antimonopoli dalam akuisisi Mellanox Technologies, perusahaan Israel yang dibeli Nvidia pada tahun 2020 untuk memperkuat bisnis data center.

Beijing menilai langkah Nvidia berpotensi menciptakan dominasi pasar yang terlalu kuat di sektor chip komputasi dan AI. Selain penyelidikan, pemerintah juga memperketat impor chip Nvidia, bahkan menempatkan tim bea cukai tambahan di pelabuhan besar untuk memeriksa setiap pengiriman chip asal AS.

Lebih jauh lagi, otoritas China kini mendorong perusahaan lokal untuk berhenti membeli chip Nvidia, termasuk versi modifikasi seperti H20 dan RTX Pro 6000D yang dibuat khusus agar sesuai dengan aturan ekspor Amerika. Langkah ini merupakan bentuk nyata dari upaya China untuk menghapus ketergantungan terhadap teknologi Amerika dan memperkuat produksi chip lokal melalui perusahaan seperti Huawei HiSilicon, SMIC, dan Biren Technology.


Serangan Balasan yang Lebih Luas

Selain menyerang sektor teknologi, China juga mengambil langkah ekonomi besar dengan mengenakan biaya tambahan untuk kapal berbendera AS yang berlabuh di pelabuhan China, mulai pertengahan Oktober 2025. Kebijakan ini adalah pukulan langsung terhadap Amerika, yang sebelumnya menaikkan tarif bagi kapal China di pelabuhan-pelabuhan AS.

Tak cukup sampai di sana, pemerintah Beijing juga memberlakukan izin ekspor untuk bahan mentah strategis seperti baterai litium dan semikonduktor, dua elemen vital yang menjadi tulang punggung industri teknologi global. Dengan kebijakan ini, China ingin menunjukkan bahwa mereka memiliki kendali terhadap rantai pasok dunia, terutama dalam industri chip dan kendaraan listrik.

Para analis memperingatkan bahwa langkah ini bisa memicu krisis pasokan global. Perusahaan Amerika dan Eropa yang bergantung pada bahan mentah dari China kemungkinan akan menghadapi lonjakan biaya produksi serta keterlambatan distribusi.


Dunia Terbelah Menjadi Dua Blok Teknologi

Situasi ini menandai pergeseran besar dalam peta industri global. Dunia kini perlahan terbagi menjadi dua kubu teknologi:

  1. Blok Amerika – dipimpin oleh AS bersama Jepang, Korea Selatan, dan Eropa, yang berfokus pada produsen seperti Intel, AMD, dan TSMC.
  2. Blok China – dengan kekuatan besar seperti Huawei, SMIC, dan HiSilicon, yang semakin berambisi membangun ekosistem teknologi mandiri.

Persaingan ini tidak hanya berdampak pada perusahaan besar, tetapi juga terhadap negara berkembang seperti Indonesia, yang bisa menjadi medan perebutan investasi baru dalam industri chip, manufaktur, dan AI. Dengan posisi strategis di Asia Tenggara, Indonesia berpotensi menjadi titik netral yang diminati kedua pihak untuk menanamkan modal produksi chip masa depan.


Masa Depan yang Ditentukan oleh Chip

Perang chip global ini menunjukkan bahwa semikonduktor kini lebih berharga daripada minyak. Chip adalah sumber daya baru yang menentukan kekuatan ekonomi, militer, dan teknologi sebuah negara. Dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh data dan kecerdasan buatan, siapa yang menguasai chip, dialah yang menguasai masa depan.

Langkah China menyeret Nvidia dan Qualcomm ke penyelidikan bukan sekadar manuver hukum, melainkan pesan geopolitik kepada Amerika dan seluruh dunia: bahwa mereka siap bertarung di medan teknologi, bukan hanya menjadi pengikut.

Perang chip ini belum akan berakhir dalam waktu dekat. Namun satu hal sudah pasti — dunia teknologi sedang memasuki babak baru di mana kecepatan nanometer dan kecerdasan buatan menjadi alat kekuasaan. Dan dalam pertarungan itu, baik AS maupun China tahu bahwa kemenangan bukan tentang siapa yang paling cepat bereaksi, tapi siapa yang paling siap untuk membangun masa depan digital tanpa batas.

banner 325x300