banner 728x250

Bukan Programmer, Inilah Profesi yang Justru Paling Dibutuhkan di Era AI Menurut CEO Nvidia

Profesi Lapangan Justru Jadi Primadona Baru di Era AI Menurut CEO Nvidia
banner 120x600
banner 468x60

Di tengah gelombang ketakutan bahwa kecerdasan buatan akan menggantikan pekerjaan manusia, CEO Nvidia Jensen Huang datang dengan pandangan yang mengejutkan sekaligus menenangkan. Dalam wawancaranya dengan Channel 4 News di Inggris, ia menegaskan bahwa masa depan pekerjaan justru bukan milik pekerja kantoran seperti programmer, melainkan para pekerja terampil di lapangan — tukang listrik, teknisi, hingga pekerja konstruksi.

Pernyataan ini datang dari sosok yang berada di jantung revolusi AI dunia. Nvidia adalah perusahaan yang mendominasi pasar chip grafis, otak di balik teknologi AI generatif, robotik, dan komputasi super. Karena itu, ucapan Huang bukan sekadar opini, tetapi cerminan langsung dari arah industri teknologi global.

banner 325x300

Pembangunan AI Tidak Bisa Tanpa Tenaga Manusia

Jensen Huang menegaskan bahwa pembangunan ekosistem AI bergantung pada infrastruktur fisik raksasa yang disebut data center. Untuk mendukung jutaan algoritma dan proses pembelajaran mesin, dunia kini sedang berlomba membangun pusat data berskala besar.

“Kalau Anda seorang tukang listrik, tukang ledeng, atau tukang kayu, kita akan butuh ratusan ribu orang untuk membangun semua pabrik ini,” kata Huang.

Pernyataannya bukan tanpa dasar. Laporan McKinsey menyebutkan bahwa belanja modal global untuk data center bisa mencapai 7 triliun dolar AS pada tahun 2030. Satu fasilitas dengan luas sekitar 2,3 hektar dapat mempekerjakan 1.500 pekerja konstruksi selama masa pembangunannya. Setelah selesai, puluhan teknisi masih dibutuhkan untuk perawatan sistem pendingin, jaringan listrik, dan instalasi server.

Nvidia bahkan telah mengalokasikan 100 miliar dolar AS (sekitar Rp1.654 triliun) untuk membangun jaringan data center global berbasis chip AI. Setiap proyek ini membuka ribuan lapangan kerja baru di sektor teknis. Jadi, meskipun AI tampak seolah menggantikan manusia, pada kenyataannya teknologi ini justru menciptakan rantai pekerjaan baru di dunia nyata.


Gelar Bukan Lagi Jaminan, Keahlian Jadi Kunci

Salah satu hal paling menarik dari pandangan Huang adalah pergeseran nilai dalam dunia kerja. Menurutnya, gelar sarjana tidak lagi menjadi satu-satunya tolok ukur kesuksesan. Di Amerika Serikat, banyak pekerja konstruksi dan teknisi yang terlibat dalam proyek data center mampu memperoleh pendapatan hingga 100.000 dolar AS per tahun, atau sekitar Rp1,65 miliar, tanpa gelar universitas.

Ini adalah kabar baik bagi banyak orang yang memilih jalur pendidikan vokasi. Di saat AI mulai mengotomatisasi banyak pekerjaan kantor, profesi lapangan seperti teknisi listrik, mekanik, atau ahli jaringan justru semakin berharga.

CEO BlackRock Larry Fink bahkan memperingatkan bahwa negaranya sedang kekurangan tukang listrik untuk memenuhi kebutuhan pembangunan data center AI. Hal serupa disampaikan oleh CEO Ford Jim Farley, yang menyebut bahwa rencana pemerintah AS untuk memindahkan kembali manufaktur ke dalam negeri akan gagal tanpa tenaga kerja teknis yang cukup.

Semua ini menunjukkan bahwa dunia sedang menuju arah baru: AI tetap butuh manusia, terutama mereka yang bisa membangun dan merawat sistemnya.


Pendidikan Vokasi Jadi Jalan Menuju Masa Depan

Fenomena ini membuat pendidikan vokasi kembali relevan. Jensen Huang menyarankan generasi muda untuk tidak hanya fokus pada coding, melainkan mulai mempelajari ilmu fisik seperti teknik elektro, teknik mesin, atau fisika terapan.

“Kalau saya berusia 20 tahun lagi, mungkin saya akan memilih ilmu fisik ketimbang software,” ucapnya.

Pendidikan kejuruan kini menjadi jalur karier yang tak kalah bergengsi. Pemerintah di berbagai negara mulai memperluas program sekolah kejuruan untuk mencetak lebih banyak tenaga kerja teknis. Di Indonesia, upaya ini terlihat dari revitalisasi Balai Latihan Kerja (BLK) dan pelatihan bersertifikat di bidang otomasi, listrik, dan sistem pendingin.

Hasilnya, lulusan vokasi kini punya peluang besar untuk langsung terserap dalam proyek industri digital dan infrastruktur AI.


Pergeseran Dunia Kerja Sudah Dimulai

Riset Yale Budget Lab menemukan bahwa sejak kemunculan ChatGPT hampir tiga tahun lalu, belum terjadi gelombang besar pengangguran akibat AI. Namun arah pergeseran sudah terlihat jelas. Pekerjaan kantoran yang bersifat rutin dan administratif mulai berkurang, sedangkan pekerjaan lapangan yang menuntut keterampilan meningkat pesat.

AI mungkin bisa menulis kode, menganalisis data, atau mengatur jadwal lebih cepat dari manusia, tapi AI tidak bisa memasang pipa, memperbaiki jaringan listrik, atau merakit sistem pendingin dengan tangan manusia. Dunia modern tetap membutuhkan orang-orang yang mampu membuat teknologi itu benar-benar hidup di dunia nyata.


Kesimpulan: Era AI Adalah Era Para Pekerja Terampil

Pandangan Jensen Huang menjadi pengingat penting bagi generasi masa kini. Dunia memang semakin digital, tetapi fondasi dari semua kemajuan itu tetap dibangun oleh tangan manusia. AI hanya sekuat infrastruktur yang menopangnya, dan infrastruktur itu tidak akan pernah ada tanpa para teknisi dan pekerja lapangan.

Maka, jika dulu profesi teknis dianggap “biasa-biasa saja,” kini justru menjadi inti dari masa depan ekonomi. Dunia AI tidak bisa berdiri tanpa kabel yang disambung, listrik yang dialirkan, dan server yang dirakit oleh manusia.

Era AI bukan akhir dari pekerjaan manusia, tapi awal dari era baru di mana keahlian nyata, keterampilan fisik, dan kecerdasan praktis menjadi bintang utama.

banner 325x300