*“Setiap orang hanya ingin satu hal:
Untuk dicintai…
dengan cara yang mereka bisa pahami.
Tapi kadang cinta datang dalam bahasa yang tak kita pelajari sejak kecil.”*
I. Kata-Kata yang Menjahit Luka (Words of Affirmation)
Aku tumbuh di rumah yang sunyi. Bukan karena tak ada suara, tapi karena semua sibuk bicara pada diri sendiri.
Jadi saat kamu berkata, “Aku bangga padamu,” aku menangis diam-diam.
Karena kalimat itu seperti kursi di ruang tunggu hidupku yang selama ini kosong.
Aku tidak butuh pujian berlebihan. Aku hanya ingin tahu bahwa aku terlihat… dan dianggap layak untuk disebut.
II. Tangan yang Sibuk Tapi Hati yang Bicara (Acts of Service)
Aku tak pernah pandai berkata manis. Tapi aku akan menyetrika bajumu jam 2 pagi.
Aku akan periksa ulang Excel-mu sebelum deadline.Aku mencintaimu lewat rutinitas, bukan romansa.
Mungkin cinta bukan tentang bunga. Tapi tentang siapa yang buang sampah saat kamu ketiduran.
Kalau kamu mau tahu aku peduli, lihatlah di mana aku diam-diam bekerja.
III. Barang-Barang yang Menyimpan Namamu (Receiving Gifts)
Aku tidak bisa memelukmu setiap waktu. Tapi aku bisa membungkus maknaku dalam benda kecil.
Sebotol parfum. Gantungan kunci. Mug bergambar lelucon kita.
Setiap benda itu bukan tentang harganya—tapi tentang niatku menciptakan kenangan yang bisa kau sentuh.
Cinta adalah benda kecil yang kamu temukan di saku—dan sadar, “oh, dia masih ingat aku.”
IV. Jam yang Tidak Lari, Tapi Menunggu (Quality Time)
Aku tak ingin apa-apa. Hanya kamu. Satu jam. Satu ruang. Tanpa distraksi.
Duduklah denganku. Lihat mataku. Biarkan hening menyelimuti kita tanpa canggung.Karena dalam hening itu, aku tahu:
Kamu hadir. Kamu sungguh-sungguh di sini. Dan tidak sedang memikirkan hal lain.
Kita tak perlu bicara. Tapi aku ingin kamu di sini, sepenuhnya. Walau hanya sebentar.
V. Kulit yang Bicara Lebih Dulu (Physical Touch)
Dunia ini terlalu bising. Tapi saat kamu menyentuh tanganku… dunia mendadak berhenti.
Pelukanmu menghapus tanggal di kalenderku. Dan saat kamu menggenggam jemariku, aku tahu: aku masih nyata.
Sentuhanmu lebih jujur dari kata-katamu. Karena tubuh tidak bisa berpura-pura.
Cinta? Bagiku itu terasa. Di kulit. Di napas. Di desah yang tak pernah bisa diketik dalam chat.
VI. Cerita yang Kita Bangun di Tengah Kekacauan (Shared Experiences)
Aku tak ingin jadi pasangan. Aku ingin jadi rekan perjalanan.
Mari bangun sesuatu bareng. Proyek. Taman. Kekacauan.Karena aku percaya, cinta itu bukan tempat berlindung. Tapi perahu yang kita dayung berdua—meski arus deras.
Kita bukan dua orang yang kebetulan cocok. Kita dua pejuang yang memutuskan bertahan, bersama.
VII. Notifikasi yang Membuktikan Aku Masih Ada (Digital Affection)
Kalau kamu nggak reply aku 5 jam, aku mulai mikir: “apa aku masih penting?”
Cinta memang bukan soal online. Tapi saat kamu hilang dari timeline-ku… hatiku juga ikut loading terus.
Like-lah fotoku. Tag aku. Mention aku sekali aja. Karena di zaman ini, cinta juga butuh sinyal.
Aku bukan haus perhatian. Aku cuma takut jadi tab yang kamu tutup… dan nggak dibuka lagi.
VIII. Pertanyaan yang Tak Butuh Jawaban Cepat (Emotional Check-In)
Aku baik-baik aja. Itu kebohongan favoritku.
Tapi kalau kamu bertanya dua kali… mungkin aku akan jujur.
Jangan buru-buru memperbaiki aku. Cukup temani. Duduk. Dengarkan.
Kadang aku hanya ingin tahu, kalau aku hancur, kamu tidak lari.
Cinta adalah ruang di mana aku boleh tidak kuat, dan kamu tetap tinggal.
Epilog: Cinta, Tapi Tidak Satu Bahasa
Kamu mungkin bertemu orang yang mencintaimu habis-habisan…
…tapi dengan bahasa yang tidak kamu kenali.
Kamu pun mencintai mereka dengan cara yang kamu tahu—yang sayangnya, mereka tak mengerti.
Cinta gagal bukan karena kurang. Tapi karena tidak sempat saling belajar.
Penutup: Kalau Kita Punya Delapan Bahasa, Maukah Kamu Belajar Satu Demi Aku?
Aku mungkin bukan orang yang tahu cara mencintaimu dengan benar.
Tapi kalau kamu bersedia jadi kamus kecil dalam hatiku…
Aku akan membaca kamu setiap hari.
Dan semoga suatu hari, aku bisa lancar bicara “aku cinta kamu” dalam bahasamu.
