Jakarta, 28 Juni 2025 – Saat dunia menyoroti konflik fisik antara Iran dan Israel, perang yang lebih senyap justru sedang berlangsung di balik layar. Tidak ada ledakan, tidak ada rudal, tapi dampaknya bisa sangat dalam. Iran, melalui kelompok peretas yang terafiliasi dengan Islamic Revolutionary Guard Corps (IRGC), telah memulai fase baru konfrontasi — dengan menyasar ruang digital Israel.
Laporan terbaru dari Check Point Research mengungkap bahwa para peretas ini menjalankan operasi spear-phishing canggih yang menargetkan jurnalis teknologi, dosen komputer, hingga pakar keamanan siber di Israel. Serangan terdeteksi sejak pertengahan Juni 2025, bertepatan dengan meningkatnya ketegangan geopolitik antar kedua negara.
Identitas Palsu, Percakapan Nyata: Fase Pertama Perang Siber
Para pelaku tidak langsung menanamkan virus atau menyerang sistem. Mereka masuk perlahan, dengan menyamar sebagai asisten eksekutif atau peneliti yang ingin berdiskusi. Kontak awal dikirim melalui WhatsApp dan email, lengkap dengan nama, jabatan, bahkan latar belakang profesional fiktif yang meyakinkan.
Yang mencengangkan, pesan-pesan tersebut sangat rapi, nyaris tanpa cela. Check Point meyakini bahwa komunikasi tersebut dibuat dengan bantuan AI — menandakan bahwa kecerdasan buatan kini digunakan bukan untuk bertahan, melainkan untuk menyerang.
Fase Kedua: Kredensial dan Keylogger
Setelah kepercayaan terbentuk, korban diarahkan ke halaman Gmail palsu atau undangan Google Meet palsu. Di situlah data mulai dijaring. Kredensial korban, termasuk kode autentikasi dua faktor, dicuri secara diam-diam.
Selain itu, peretas menyisipkan keylogger, alat penyadap digital yang merekam setiap ketukan keyboard. Bahkan ketika korban hanya mengetik sebagian dan membatalkan proses, data tetap terekam dan dikirim ke sistem peretas.
Perang Sudah Berubah: Dari Tank ke Teks
Ini bukan lagi soal militer dan rudal. Konflik antara Iran dan Israel telah merambah ke ranah digital yang lebih halus, tapi jauh lebih luas. Sasaran bukan hanya infrastruktur, tapi juga manusia di balik sistem — otak-otak yang membangun pertahanan teknologi negara.
Dengan teknologi AI sebagai alat manipulasi komunikasi, perang tak lagi datang dengan suara ledakan. Ia hadir lewat notifikasi, email yang tampak sah, dan percakapan sopan yang mengandung jebakan.
