Tawa. Ia datang saat kita menemukan lelucon yang cerdas, lawakan receh, atau kenangan konyol dari masa lalu. Tapi ada kalanya tawa hadir di tempat yang tidak seharusnya. Di lorong gelap. Di tengah kecemasan. Di kursi rumah sakit. Atau saat seseorang baru saja bertanya, “Serius kamu sendirian di sini?”
Tawa dalam ketakutan bukan lelucon. Itu gejala. Dan setiap gejala punya asal-usul.
Tertawa Bukan Selalu Tentang Bahagia
Sains mengajarkan bahwa tawa bukan cuma reaksi atas hal lucu. Ia adalah bahasa sosial, alat bertahan, dan kadang ironisnya topeng. Dalam dunia primata, tawa bisa berarti pengakuan kekalahan. Simpanse bisa tersenyum bukan karena bahagia, tapi karena sedang pasrah. Ia sedang berkata, “Aku tidak ingin bertarung.”
Begitu pula manusia. Saat kita tertawa di tengah rasa takut, mungkin tubuh sedang bernegosiasi dengan dunia. Mungkin itu adalah bahasa tubuh yang halus: “Jangan ganggu aku, aku cuma lewat.”
Membuat Horor Terasa Manusiawi
Bayangkan saat nonton film horor. Bukannya takut, kamu malah ketawa melihat tokohnya bertindak bodoh. Padahal ancaman jelas-jelas di depan mata. Tapi justru di sanalah letak absurditasnya. Otak kita bingung, tak tahu harus merespons dengan panik atau santai. Akhirnya, ia memilih tawa karena setidaknya itu bisa dilepaskan dengan ringan.
Ketika dunia terlalu berat, otak akan cari celah untuk menjadikannya ringan. Tawa adalah jalan keluar darurat. Bahkan jika pintunya sempit.
Tertawa: Tanda Bahwa Kita Masih Ingin Bertahan
Dalam tulisan di Psychology Today, Alex Lickerman menyebut tawa sebagai mekanisme pertahanan tingkat tinggi. Kita tahu rasa takut itu nyata, tapi dengan tertawa, kita mencoba memberi jeda. Sejenak saja. Cukup untuk bernapas.
Dan mungkin itu cukup. Karena banyak hal menakutkan tak selalu butuh solusi. Kadang, cukup diakui, lalu ditertawakan.
Sisi Lain dari Ketidaksesuaian
Peneliti emosi percaya, bahwa tawa saat takut adalah bentuk penyesuaian diri. Emosi terlalu kuat baik itu negatif atau positif bisa meledakkan sistem kita. Maka muncullah reaksi yang berlawanan. Tawa saat takut, tangis saat bahagia. Semuanya bagian dari upaya tubuh menyeimbangkan diri di tengah pusaran.
Karena kita manusia. Kita rumit. Dan sering kali kita tidak rasional. Tapi di dalam ketidakteraturan itulah, kita menemukan cara untuk terus hidup.
Tertawa, Meski Dunia Tak Lucu
Pada akhirnya, mungkin kita tertawa bukan karena ada hal lucu. Tapi karena kita butuh alasan untuk tidak runtuh. Kita takut. Kita bingung. Kita sendirian. Tapi selama kita bisa tertawa, bahkan sedikit, kita tahu satu hal penting:
Kita belum menyerah.



















