Oleh: PixelScribe | Politik, Ego, dan Teknokrasi
Beberapa hari lalu, internet seperti diguncang gempa mikro—bukan karena kecelakaan luar angkasa atau tweet soal Mars, tapi karena satu kalimat dari Elon Musk:
“Saya menyesal atas beberapa unggahan saya tentang Presiden @realDonaldTrump minggu lalu.”
Kalimat yang seolah ingin menyiram bara konflik dengan seember air dingin. Tapi apakah bara itu benar-benar padam? Atau hanya tertutup abu sementara sebelum api menyala lagi?
🔥 Dulu Sekutu, Sekarang Jauh Lebih dari Sekadar Musuh
Musk dan Trump dulunya satu frekuensi. Saat kampanye pilpres dimulai, Musk bahkan jadi “juru bicara gaya bebas” untuk Trump: bikin situs TrumpWin2024.org, ikut kampanye lewat X, bahkan masuk kabinet simbolik sebagai Kepala Department of Government Efficiency (DOGE).
Trump menyebut Musk sebagai “kartu AS”, sedangkan Musk memuji visi Trump untuk “pemerintahan ramping”. Tapi semua pujian itu mulai retak ketika RUU One Big Beautiful Bill (BBB) diumumkan.
⚡ Dari Visi ke Versi: Titik Pecah Dimulai dari RUU
Trump menyebut RUU BBB akan memangkas pengeluaran negara hingga triliunan dolar. Musk bilang: “This is not efficiency. This is delusion.”
Tak cukup menolak diam-diam, Musk melepas tembakan di platform X: menyebut RUU itu “Slim Ugly Bill”, mengejek Trump sebagai pemimpin yang “tak tahu berterima kasih”, dan menuding bahwa tanpa dirinya, Trump tidak akan pernah menang.
Trump tak tinggal diam. Ia membalas di Truth Social: Musk “sudah gila”, “tak tahu diri”, dan bahkan mengancam mencabut subsidi untuk Tesla dan SpaceX.
Ledakan opini pun dimulai. Media menyulut. Netizen membakar. Pasar goyah. Saham Tesla jatuh. Reputasi saling tercabik.
💣 Skandal, Sindiran, dan Ancaman dari Dua Arah
Sampai akhirnya Musk melempar kartu terlarang: nama Trump diseret ke skandal Epstein. Tak langsung, tapi cukup jelas. Dan cukup menyakitkan.
Trump disebut “marah luar biasa”. Bahkan staf Gedung Putih mengonfirmasi bahwa sang presiden menyatakan “tak akan pernah mau berbicara lagi dengan Musk.”
Efek domino langsung terasa: saham Tesla makin jatuh, spekulasi soal subsidi federal mulai beredar, bahkan Musk mengancam tarik SpaceX dari misi NASA (yang akhirnya ia batalkan dalam 24 jam).
🤝 Minta Maaf atau Manuver Strategi?
Ketika tensi mencapai puncak, Musk tiba-tiba berbelok. Dengan nada yang jauh lebih lembut, ia tulis permintaan maaf di X. Tidak menyebut cuitan mana yang dimaksud. Tidak menjelaskan motif. Hanya pengakuan bahwa ia “terlalu berlebihan.”
Cuitan itu viral: 80 juta tayangan, 700 ribu likes, 100 ribu retweet. Komentar terbagi dua kubu: yang memuji keberaniannya untuk menunduk, dan yang sinis menyebut ini sebagai “aksi korporat menyelamatkan kapital.”
Apalagi setelah diketahui bahwa Musk mulai menghapus beberapa unggahan sebelumnya, termasuk respons “yes” terhadap ajakan memakzulkan Trump.
❌ Trump Tetap Keras: “Sudah Terlambat”
Sayangnya, permintaan maaf itu tidak disambut hangat. Trump menolak membalas secara langsung, tapi lewat NBC ia nyatakan:
“Hubungan kami sudah selesai.”
Bukan hanya tentang cuitan atau kebijakan. Ini sudah menyentuh ego dan identitas politik masing-masing. Musk mungkin ingin meredakan suasana, tapi Trump merasa dikhianati di depan dunia.
🎭 Babak Baru Dimulai, Tapi Bukan Babak Damai
Kini, tak ada lagi cuitan kasar. Tak ada ancaman eksplisit. Tapi bukan berarti konflik selesai. Keduanya hanya diam, dan dalam dunia politik modern, diam bisa berarti manuver.
Musk tengah mempertimbangkan “membangun partai politik baru” untuk warga kecewa. Trump bersiap menghadapi pemilu dengan strategi anti-baru. Sementara itu, publik menonton, dan pasar tetap waspada.
🔮 Penutup: Sunyi Bukan Damai, Ini Hanya Tenang Sebelum Badai
Kita mungkin tak melihat Musk dan Trump saling sindir minggu ini. Tapi drama mereka belum usai—karena selama kamera menyala, panggung politik tak pernah kosong.
Dan satu hal yang pasti: di dunia digital, permintaan maaf bukanlah akhir. Itu hanya transisi ke babak berikutnya.



















