Karena AI Lebih Ganteng dari Realita
Zaman dulu orang nanya ke dukun.
Sekarang? Ke ChatGPT.
Bedanya?
Dukun ngasih ramuan, GPT ngasih jawaban 100% yakin walau 0% benar.
“Coba Lihat Ampas Kopi Ini, GPT…”
Kronologinya begini:
Seorang wanita dari Yunani upload postingan ke Reddit, ngaku nanya ke ChatGPT soal dugaan perselingkuhan suaminya.
Katanya sih, dia ngasih foto ampas kopi.
Padahal ChatGPT nggak bisa akses gambar di Reddit.
Apalagi baca ampas kopi.
Dia bukan cenayang digital.
Tapi dia jawab:
“Ada orang ketiga. Inisialnya E.”
WANITA ITU PERCAYA.
Dan dia GUGAT CERAI.
Kita Hidup di Dunia Di Mana Kata Bot Lebih Sah dari Bukti
Ini bukan cuma soal pasangan cerai karena AI.
Ini soal fenomena global:
“Kalau ChatGPT bilang, pasti benar.”
Nggak peduli apakah:
- GPT salah hitung,
- GPT salah konfirmasi,
- GPT ngarang ngasal.
Pokoknya kalau jawabannya ngena di hati, maka itu jadi kebenaran baru.
Sakit hati validasi via chatbot?
Kita sudah masuk era self-gaslighting pakai AI.
Algoritma yang Gak Punya Hati Tapi Menghancurkan Rumah Tangga
GPT bukan tukang ramal.
Dia cuma mesin prediksi kata.
Tapi yang bikin ngeri adalah cara dia ngomong kayak orang yang tahu semuanya.
Kamu: “Apakah dia selingkuh?”
GPT: “Ya. Dia selingkuh. Dengan orang berinisial E.”Padahal itu cuma token prediction.
Tapi kamu baca, dan kamu percaya.
Dan boom.
Keputusan hidup dibuat dari hasil halusinasi algoritma.
Digital Witchcraft: AI Jadi Media Baru untuk Nyalahin Orang
Kita tuh kayak nyari pembenaran, bukan kebenaran.
Kalau GPT bilang “dia salah,” langsung puas.
Padahal… kita yang nanya dengan harapan jawaban negatif.
Ini bukan cari solusi. Ini digital voodoo.
Kita minta AI jadi cermin, padahal yang kita lihat adalah versi bias dari ketakutan kita sendiri.
Welcome to the Age of Outsourced Accountability
Kita makin males mikir.
Males konfrontasi.
Males validasi.
Jadi kita outsourcing semuanya ke AI:
- Mau resign? Tanya AI.
- Mau putus? Tanya AI.
- Mau tahu pasangan selingkuh atau enggak? Tanya AI.
Dan kalau salah? Tinggal bilang:
“Bukan aku yang mutusin. GPT yang bilang…”
Convenient. Tapi gawat.
Akhir Kata: Kalau Kamu Butuh AI Buat Percaya Intuisi Sendiri, Mungkin Kamu Udah Kehilangan Intuisinya
Perceraian ini bukan tragedi teknologinya.
Tapi tragedi kemanusiaannya.
Teknologi itu alat.
Tapi kita pakai alat buat nyari jawaban, bukan nyari kebenaran.
Dan sekarang…
Suara AI lebih dipercaya daripada suara pasangan hidup.
Dulu, “Kita butuh bicara.”
Sekarang, “Tunggu, aku tanya GPT dulu.”



















