Pyongyang – Kim Jong Un kembali menunjukkan kekuatan otoriternya dengan mengeksekusi 30 pejabat pemerintah Korea Utara pada Agustus 2024. Para pejabat ini dihukum mati setelah dianggap gagal mengatasi banjir besar yang menghantam provinsi Chagang pada Juli 2024, yang menewaskan ribuan orang dan menyebabkan lebih dari 15.000 warga kehilangan tempat tinggal.
Laporan ini pertama kali diungkap oleh TV Chosun, sebuah stasiun televisi di Korea Selatan, dan dikonfirmasi oleh media internasional seperti The Straits Times dan Independent. Menurut laporan tersebut, para pejabat yang dieksekusi berasal dari pemerintah daerah di kawasan yang paling parah terdampak banjir. Mereka dituduh gagal melakukan langkah-langkah mitigasi yang memadai, sehingga bencana itu membawa korban jiwa dalam jumlah besar.
Banjir yang melanda Korea Utara ini menyebabkan kerusakan infrastruktur besar-besaran, termasuk menghancurkan lebih dari 4.100 rumah, ribuan hektare lahan pertanian, serta banyak fasilitas umum seperti jalan, jembatan, dan jalur kereta api. Sementara itu, Badan Intelijen Nasional Korea Selatan melaporkan bahwa mereka memantau situasi ini dengan cermat setelah menerima informasi intelijen terkait perkembangan di negara tetangganya tersebut. Namun, Kementerian Unifikasi Korea Selatan, yang biasanya menangani hubungan antar kedua negara, menolak berkomentar mengenai eksekusi tersebut.
Kim Jong Un, dalam pertemuan darurat dengan pejabat partai pada akhir Juli, menegaskan bahwa mereka yang lalai dalam menjalankan tugas dan bertanggung jawab atas jatuhnya korban akan dihukum berat. Janji tersebut ia penuhi dengan eksekusi massal ini.
Dalam beberapa minggu setelah banjir, media propaganda Korea Utara mempublikasikan foto-foto Kim Jong Un yang sedang mengawasi langsung upaya penyelamatan. Namun, berbeda dengan laporan media internasional yang menyebut ribuan korban tewas, media pemerintah Korea Utara tidak melaporkan adanya korban jiwa. Mereka justru fokus melaporkan upaya penyelamatan yang berhasil mengamankan sekitar 5.000 orang dari daerah yang terdampak banjir.
Kim Jong Un juga menolak menerima bantuan internasional, meskipun bencana banjir telah menghancurkan wilayah tersebut. Ia memilih untuk memerintahkan relokasi penduduk yang terkena dampak ke Pyongyang, ibu kota Korea Utara. Di sana, ribuan warga yang mengungsi akan menerima perawatan dan bantuan dari pemerintah selama proses pembangunan kembali, yang diperkirakan akan memakan waktu sekitar dua hingga tiga bulan.
Upaya Kim Jong Un untuk menegaskan kontrol dan mengatasi krisis ini di tengah bencana besar menunjukkan bahwa kepemimpinan di Korea Utara akan tetap berada di bawah kendali besi, bahkan ketika menghadapi situasi darurat kemanusiaan.